Cerita Populer: Senyum Yang Menyembunyikan Rasa Takut



Senyum yang Menyembunyikan Rasa Takut

Lorong Istana Yan sunyi senyap. Lentera-lentera merah tua bergoyang pelan, menari-nari dengan bayangan yang panjang dan mengerikan. Kabut tipis merayap dari taman belakang, menyusup melalui celah pintu, membawa aroma tanah basah dan kenangan pahit.

Lima belas tahun telah berlalu sejak Pangeran Li Wei dikabarkan tewas dalam pertempuran di Perbatasan Utara. Lima belas tahun pula Kaisar Yan Agung berduka, tak pernah lagi mengenakan jubah keemasan yang dulu begitu dibanggakannya.

Malam ini, seorang pria berdiri di depan gerbang istana. Jubahnya lusuh, wajahnya tertutup bayangan topi anyaman. Tapi mata itu… mata itu tak mungkin salah. Mata Pangeran Li Wei.

Penjaga istana, yang masih mengingat wajah sang pangeran sewaktu kecil, terperangah. "P-Pangeran Li Wei…?"

Pria itu hanya tersenyum tipis, senyum yang menyeramkan dan ambigu. "Sudah lama, bukan?"

Kaisar Yan Agung menyambut kedatangan putranya di Aula Utama. Wajahnya dipenuhi campuran antara kebahagiaan dan keraguan. "Wei'er… sungguh kau? Kupikir… kupikir aku telah kehilanganmu."

Li Wei berlutut di hadapan tahta. "Ayahanda Kaisar, aku kembali. Aku kembali untuk membalas dendam."

"Membalas dendam? Dendam pada siapa, Nak?"

Li Wei mengangkat wajahnya. Senyumnya semakin lebar, menampakkan gigi-gigi putih yang berkilauan berbahaya. "Pada mereka yang mengkhianatimu, Ayahanda. Pada mereka yang berkomplot melawanmu. Pada mereka… yang mengira aku sudah mati."

Selama berhari-hari, Li Wei tinggal di istana. Ia berbicara dengan para pejabat tinggi, para jenderal, para penasihat Kaisar. Ia mendengarkan cerita-cerita mereka, mengajukan pertanyaan-pertanyaan lembut namun menusuk bagai jarum, mengumpulkan kepingan-kepingan masa lalu.

"Jenderal Zhao, kudengar kau adalah sahabat ayahanda di medan perang. Kudengar kau yang terakhir melihatku sebelum aku jatuh dari tebing?" tanya Li Wei suatu malam, sambil menyeruput teh di paviliun pribadi Jenderal Zhao.

Jenderal Zhao tersenyum ramah. "Benar, Pangeran. Itu adalah hari yang kelabu. Kami semua sangat berduka atas kehilanganmu."

Li Wei meletakkan cangkirnya. "Kelabu… atau gelap?"

Malam berikutnya, Jenderal Zhao ditemukan tewas di kamarnya. Sepucuk surat pengakuan dosa terletak di dekatnya, menyatakan bahwa ia telah bekerja sama dengan suku barbar untuk menjebak Li Wei dan menjatuhkan Kaisar Yan Agung.

Kematian Jenderal Zhao memicu serangkaian penangkapan. Para pejabat tinggi yang korup, para jenderal yang ambisius, para penasihat yang licik… satu per satu mereka tumbang di bawah tuduhan pengkhianatan.

Kaisar Yan Agung terkejut sekaligus lega. "Wei'er, kau telah membuka mataku. Aku tidak tahu bahwa istanaku dipenuhi oleh ular beludak!"

Li Wei tersenyum lagi, senyum yang tidak mencapai matanya. "Ayahanda Kaisar, aku hanya melakukan apa yang seharusnya kulakukan."

Malam terakhirnya di istana, Li Wei berdiri di balkon kamarnya, menatap kota yang tertidur di bawahnya. Kaisar Yan Agung datang menghampirinya.

"Wei'er, aku ingin berterima kasih. Kau telah menyelamatkan kerajaanku."

Li Wei berbalik menghadap ayahnya. "Ayahanda, ada satu hal lagi yang perlu kau ketahui."

"Apa itu, Nak?"

Li Wei mendekat, membisikkan sesuatu ke telinga Kaisar Yan Agung.

Wajah Kaisar Yan Agung berubah pucat pasi. Matanya membulat karena ngeri. Ia mundur selangkah, lalu selangkah lagi, seolah baru saja melihat hantu.

"T-tidak mungkin… tidak mungkin!"

Li Wei tertawa. Tawa yang dingin dan mengerikan, menggema di lorong-lorong istana yang sunyi.

"Ayahanda Kaisar, kau selalu terlalu percaya. Kau selalu melihatku sebagai korban. Tapi, tahukah kau siapa yang benar-benar merencanakan semuanya sejak awal?"

Li Wei maju selangkah, lalu selangkah lagi, sampai ia berdiri tepat di depan Kaisar Yan Agung.

"AKU. AKU yang mengirim pesan rahasia ke suku barbar. AKU yang menjebak Jenderal Zhao. AKU yang merencanakan kejatuhanmu… dan sekarang, kerajaanku."

Kaisar Yan Agung jatuh berlutut, menatap putranya dengan mata yang hancur.

Li Wei tersenyum. Senyum yang menyembunyikan rasa takut yang sesungguhnya. Senyum kemenangan.

"Kau pikir aku kembali untuk menyelamatkanmu? Oh, Ayahanda. Aku kembali untuk mengambil apa yang seharusnya menjadi milikku sejak awal. Dan sekarang, tidak ada lagi yang bisa menghentikanku.

Karena pada akhirnya, dialah sang naga yang menyamar sebagai domba, dan sekarang, cakar-cakarnya siap mencabik.

You Might Also Like: 2025 Best 7 Phone Locking Software To

Post a Comment

Previous Post Next Post