Mahkota yang Berlumur Darah Sendiri
Malam di puncak Gunung Taihang terasa lebih pekat dari biasanya. Salju berjatuhan seperti ribuan pisau kecil, menutupi segalanya dengan lapisan putih dingin. Di tengah hamparan itu, berdiri Istana Giok yang megah, kini diliputi aura kematian. Aroma dupa terbakar terasa pahit, bercampur dengan bau anyir yang lebih kuat: DARAH.
Li Wei, sang pewaris takhta yang sah, berdiri di depan altar leluhur. Jubah putihnya ternoda merah, bukan karena pertempuran, melainkan karena pengkhianatan. Di tangannya tergenggam erat Mahkota Naga, simbol kekuasaan yang kini terasa begitu berat, begitu berlumuran dosa.
Di hadapannya, berlutut Xiao Mei, wanita yang dicintainya lebih dari nyawanya sendiri. Matanya merah dan bengkak, air mata membekas di pipinya yang pucat. Namun, tatapannya dingin, seperti es.
"Kau…," Li Wei berbisik, suaranya serak, "Kau… mengapa?"
Xiao Mei mendongak. "Karena janji yang kau abaikan, Li Wei. Janji di atas abu leluhurku, yang kau tinggalkan demi mahkota ini."
Flashback menghantam Li Wei seperti gelombang pasang. Dulu, mereka hanyalah dua anak manusia yang berjanji setia di depan makam keluarga Xiao Mei, yang dibantai oleh Klan Li, keluarga Li Wei sendiri. Sebuah rahasia kelam yang seharusnya terkubur selamanya.
"Aku… aku tidak tahu…" Li Wei mencoba membela diri, tetapi kata-katanya tercekat di tenggorokan.
"Kebohongan! Ayahmu membunuh seluruh keluargaku! Dan kau, kau mewarisi dosa-dosanya!" Xiao Mei berteriak, suaranya menggema di dalam istana yang sunyi.
Malam itu, Li Wei mengerti. Cinta mereka adalah KUTUKAN. Dendam Xiao Mei adalah KEADILAN. Dan mahkota itu adalah sebuah pengingat abadi tentang pengkhianatan.
Xiao Mei berdiri, menghunus belati perak yang tersembunyi di balik jubahnya. Di bawah cahaya bulan yang pucat, belati itu berkilauan, memantulkan wajah Li Wei yang penuh penyesalan.
"Aku mencintaimu, Li Wei," bisik Xiao Mei, "Tetapi cintaku tak sebanding dengan darah keluargaku."
Li Wei memejamkan mata. Ia tahu apa yang akan terjadi. Ia pantas menerimanya.
Belati itu menusuk, tepat di jantungnya. Sakitnya terasa dingin, seperti salju yang meresap ke dalam tulang.
Li Wei membuka mata. Xiao Mei memeluknya erat, air matanya membasahi wajahnya.
"Ini bukan balas dendam," bisik Xiao Mei, "Ini… pembebasan."
Li Wei tersenyum pahit. Darah mengalir dari mulutnya, membasahi jubah putih Xiao Mei. Ia merengkuh wajah wanita yang dicintainya, menatap matanya yang penuh duka.
"Aku… mengerti…" bisik Li Wei sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.
Xiao Mei melepaskan pelukannya, membiarkan tubuh Li Wei ambruk ke lantai. Ia menatap mahkota naga yang terguling di samping jasadnya. Mahkota yang Berlumur Darah Sendiri.
Dengan tenang, Xiao Mei mengambil mahkota itu dan memakainya di kepalanya. Ia berdiri tegak, di tengah istana yang berlumuran darah. Wajahnya tanpa ekspresi, tetapi matanya menyimpan lautan kesedihan yang tak terukur.
Dendam telah terbalaskan. Klan Li telah tumbang. Dan Xiao Mei, kini menjadi Kaisar Wanita, penguasa seluruh daratan.
Tetapi kemenangan ini terasa hampa. Hatinya terasa dingin, kosong.
Ia berbalik, meninggalkan Istana Giok, meninggalkan masa lalu yang penuh darah dan air mata. Ia berjalan menuju fajar yang masih jauh, membawa beban kebencian yang abadi.
Di belakangnya, angin bertiup kencang, membawa bisikan yang lirih: "Apakah dia benar-benar bebas?"
You Might Also Like: 30 Inspirasi Skincare Lokal Dengan