Hujan abu mengaburkan garis cakrawala, menutupi reruntuhan kota kuno. Di antara puing-puing itu, berdirilah aku, Li Mei, menatap punggungnya. Punggung yang dulu begitu kurindukan, punggung yang dulu menjadi pelindungku dari badai dunia. Punggung itu kini berdiri tegak, arogan, di bawah bendera kejayaan palsu yang dibangun di atas pengkhianatan.
"Kau datang juga, Li Mei," desisnya, tanpa menoleh. Suaranya, dulu melodi terindah di telingaku, kini terdengar seperti gesekan pedang yang mengoyak jiwa. Itu dia, Chen Wei, kaisar yang mengkhianati cintaku, yang membantai keluargaku, yang merebut takhtaku.
"Chen Wei," ujarku lirih, nama itu terasa seperti pecahan kaca di tenggorokanku. "Kau tahu mengapa aku datang."
Ia berbalik, senyum tipis terukir di bibirnya. Mata itu, dulu penuh cinta dan janji, kini dingin dan berkilat angkuh. "Kau datang untuk meminta penjelasan? Untuk memohon ampun? TERLAMBAT!"
Langkahku mendekat, perlahan, seperti macan yang mengintai mangsanya. "Aku tidak datang untuk itu. Dulu, di bawah pohon sakura yang mekar, kau berjanji akan mencintaiku selamanya. Dulu, kau berjanji akan melindungiku dari segala bahaya. Dulu, kau..." Suaraku tercekat. Kenangan manis itu kini terasa seperti belati yang menusuk-nusuk hatiku.
"DULU! Itu DULU, Li Mei!" bentaknya. "Dulu aku masih bodoh, dibutakan oleh cinta yang naif. Aku memilih takhta, kekuasaan, kehormatan! Aku memilih apa yang SEBENARNYA penting!"
Hujan abu semakin deras. Di bawah langit kelabu itu, aku melihat penyesalan samar di matanya. Setitik, sekilas, sebelum kembali tertutup oleh lapisan kekerasan dan kesombongan. Terlambat. Penyesalan itu terlambat. Kata-kata itu terlambat. Cinta itu TERLAMBAT.
"Kau memilih jalanmu, Chen Wei," bisikku. "Dan aku memilih jalanku."
Aku mengangkat tangan. Sebuah jepit rambut perak, hadiah darinya di masa lalu, berkilauan di antara jemariku. Di dalam jepit itu, tersembunyi racun yang tak berampun. Racun yang merenggut nyawa ibuku, racun yang aku curi kembali dari tanganmu.
"Aku mencintaimu, Chen Wei," ujarku, air mata bercampur dengan hujan abu di pipiku. "Tapi dendamku... jauh lebih kuat dari waktu."
Aku melemparkan jepit itu ke arahnya. Ia terkejut, terlambat menghindar. Jepit itu menancap tepat di jantungnya. Ia terhuyung, memegangi dadanya, matanya memandangku dengan campuran ngeri dan penyesalan.
Ia jatuh berlutut. Udara di sekitarnya terasa berat, penuh dengan sisa-sisa cinta yang mati dan janji yang dikhianati.
"Aku… mencintaimu… juga…" bisiknya, sebelum akhirnya roboh tak bernyawa.
Aku berbalik, meninggalkan reruntuhan itu. Meninggalkan cinta yang tak pernah bisa terwujud. Meninggalkan dendam yang telah terbalaskan. Tapi apakah ini benar-benar keadilan? Apakah ini yang aku inginkan?
Angin bertiup kencang, membawa serta debu dan sisa-sisa masa lalu. Di kejauhan, terdengar lolongan serigala. Mungkin, hanya takdir yang menuntut keadilan, menggunakan aku sebagai alatnya.
Akankah cinta dan dendam akhirnya menemukan keseimbangan, ataukah kita semua ditakdirkan untuk menjadi tawanan masa lalu?
You Might Also Like: Ini Baru Cerita Ia Melihatku Lewat