Hujan jatuh di atas makamnya, bisikan air membasahi nisan yang dingin. Sunyi. Begitu sunyi hingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri yang berdebar tak karuan, sebuah irama yang terasa asing di dunia yang telah lama kutinggalkan. Aku di sini, arwah yang terikat, bayangan yang menolak pergi. Namaku Ling, dan kematian telah mencuri kebenaran dari bibirku.
Lima tahun lalu, aku meregang nyawa. Kecelakaan tragis, kata mereka. KELALAIAN, bisikku dalam hati. Kelalaian yang merenggut segalanya. Cintaku, mimpiku, dan akhirnya, nyawaku.
Kini, aku kembali. Bukan untuk memeluk ibuku, bukan untuk menyentuh wajah adik perempuanku. Aku kembali untuk membalas dendam.
Di alam baka yang abu-abu, aku mendengar desas-desus tentang dunia lain. Tentang bagaimana arwah yang kuat bisa memanifestasikan diri, mempengaruhi takdir orang-orang yang masih hidup. Aku belajar, aku berlatih, aku mengasah kebencianku menjadi senjata yang tajam.
Targetku adalah Li Wei, sahabatku. Atau, yang kukira sahabatku. Dialah yang mengemudi malam itu. Dialah yang mabuk. Dialah yang selamat. Dialah yang menikahi tunanganku, Mei Lan, tiga bulan setelah pemakamanku.
Setiap malam, aku membayangi Li Wei. Aku mengganggu tidurnya dengan bisikan-bisikan gelap. Aku membuat usahanya bangkrut dengan serangkaian kejadian aneh. Aku mencuri kebahagiaannya, setitik demi setitik, seperti hujan yang mengikis batu.
Mei Lan. Hatiku berdenyut sakit setiap kali melihatnya. Dia tersenyum, tertawa, seolah aku tak pernah ada. Seolah cinta kami tak lebih dari sekadar mimpi buruk. Tapi, aku tidak bisa mendekatinya. Dendam membutakanku.
Suatu malam, aku melihat Li Wei berdiri di depan makamku. Dia membawa seikat bunga lili putih, bunga kesukaanku. Dia berlutut, menundukkan kepala.
"Ling," gumamnya dengan suara bergetar. "Aku tahu kau di sini. Aku tahu kau marah. Aku pantas mendapatkannya."
Kemudian, dia menangis. Tangisan yang tulus, yang memilukan. Tangisan yang merobek tirai kebencian yang telah kubangun dengan susah payah.
Dia melanjutkan, "Aku tahu aku tidak bisa mengembalikanmu. Tapi, aku bersumpah, aku akan menjaga Mei Lan. Aku akan mencintainya seperti yang seharusnya kau lakukan. Aku akan memastikan dia bahagia."
Saat itu, aku melihatnya. Bayangan yang selalu mengikutiku, bukan bayangan kebencian, tapi bayangan penyesalan. Aku melihat bagaimana kecelakaan itu menghantuinya setiap hari. Aku melihat bagaimana dia mencintai Mei Lan dengan tulus, mencoba menebus dosanya.
Dendamku meleleh, seperti es di bawah sinar matahari. APA yang sebenarnya kucari selama ini? Bukan balas dendam, tapi… kedamaian. Kedamaian untuk diriku sendiri. Kedamaian untuk Mei Lan. Kedamaian untuk Li Wei.
Aku mendekati Li Wei, mengangkat tanganku. Aku ingin menyentuhnya, ingin memaafkannya, ingin mengatakan bahwa aku mengerti. Tapi, aku hanyalah arwah. Sentuhan tidak mungkin.
Aku melihat ke arah Mei Lan, yang berdiri tak jauh dari sana, memandangi kami dengan air mata berlinang. Aku tersenyum, senyum pertama yang tulus sejak kematianku.
"JAGA DIA," bisikku, meski aku tahu dia tidak akan mendengarnya.
Aku merasakan sesuatu yang aneh. Cahaya. Hangat. Damai. Aku menoleh ke atas dan melihat gerbang yang terbuka.
Saat aku melangkah ke arah cahaya, aku bisa merasakan penyesalan terakhirku menguap. Aku akhirnya bisa melepaskan. Akhirnya bisa… pergi.
Dan, seolah arwah itu baru saja tersenyum untuk terakhir kalinya…
You Might Also Like: Jualan Skincare Bisnis Sampingan