Hujan malam itu seperti air mata langit yang tumpah ruah, membasahi atap rumah yang menjadi saksi bisu kisah cinta kami. Cinta yang seharusnya membara, malah padam dihempas badai ego dan ambisi. Di teras, di bawah naungan rembulan yang bersembunyi di balik awan kelabu, aku berdiri menantinya. Dia datang, sosoknya masih setampan dulu, namun matanya memancarkan kekosongan yang tak terperi.
"Maafkan aku, Lian Hua," bisiknya, suaranya serak tertelan hujan. "Aku...aku tidak bisa."
"Tidak bisa apa, Jian Wei?" tanyaku, suaraku bergetar. "Tidak bisa menepati janji kita? Tidak bisa memilih aku? Atau tidak bisa melihatku hancur?"
Dia mendekat, tangannya terulur, mencoba menyentuh pipiku. Aku mundur selangkah. Dulu, sentuhannya adalah candu, kini hanya membangkitkan MUAK.
"Aku dijodohkan," lirihnya, matanya memohon pengertian. "Ini demi keluarga, demi bisnis. Aku tidak punya pilihan."
Pilihan! Kata itu menggelitik pahit di lidahku. Dia selalu punya pilihan. Dia hanya memilih yang lebih mudah, yang lebih menguntungkan. Dia memilih kekuasaan daripada CINTA.
Aku menatap matanya, mencoba mencari setitik kebenaran di sana. Tapi yang kutemukan hanyalah kebohongan yang dibungkus penyesalan. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan badai yang mengamuk di dadaku.
"Aku mengerti," ucapku, suaraku dingin seperti es. "Kau memilih jalanmu. Aku pun akan memilih jalanku."
Dia meraihku dalam pelukan, erat seolah takut aku menghilang. Pelukan yang dulu terasa hangat dan menenangkan, kini hanya menyisakan aroma pengkhianatan. Aku membalas pelukannya, merasakan detak jantungnya yang berpacu. Di saat itulah, rencana itu terlintas di benakku. Rencana yang sudah lama kupendam, rencana yang akan membalas semua sakit hati ini.
Aku melepaskan diri dari pelukannya. "Selamat tinggal, Jian Wei," bisikku, senyum tipis tersungging di bibirku. "Semoga kau bahagia."
Dia pergi, meninggalkan aku berdiri sendiri di bawah hujan. Aku menatap punggungnya yang menjauh, merasakan air mata bercampur dengan air hujan di pipiku. Malam itu, aku berjanji pada diriku sendiri. Dia telah menghancurkan hatiku, dia telah merenggut kebahagiaanku. Aku akan memastikan dia merasakan sakit yang sama, bahkan lebih. Bukan dengan kekerasan, bukan dengan amarah. Tapi dengan cara yang lebih halus, lebih menyakitkan. Dengan cara yang hanya bisa dilakukan oleh TAKDIR.
Bertahun-tahun kemudian, saat dia berdiri di altar pernikahan dengan wanita pilihan keluarganya, saat aku menjadi orang yang mendeklarasikan kebangkrutan bisnis keluarganya, saat aku melihat penyesalan dan keputusasaan di matanya, aku tahu takdir telah menunaikan tugasnya.
Cinta yang dulu ada kini hanya tinggal abu, menyisakan aroma dendam yang manis di lidah. Apakah ini akhir dari segalanya, atau justru awal dari babak baru yang lebih gelap?
Apakah mungkin cinta dan dendam bisa berdansa bersama di bawah rembulan yang sama?
You Might Also Like: 13 From Chaos To Clarity Unifying