Senja merayap di balik tirai sutra jingga, mewarnai wajah Lin Mei seperti lukisan porselen retak. Di hadapannya, berdiri Wei Liang, bayangan dari masa lalu yang dulu di puja. Dulu, matanya adalah bintang baginya; kini, hanyalah dua kolam hampa yang mencerminkan penyesalan. Lima tahun berlalu sejak ia memilih tahta dan kekayaan, meninggalkan Lin Mei di altar impian yang berlumuran air mata.
"Mei," bisiknya, suara serak tertelan angin malam. "Maafkan aku."
Kata itu… maaf. Terlalu ringan untuk mengurai luka sedalam jurang yang menganga di hatinya. Dulu, janji Wei Liang adalah mantra yang melindunginya dari kerasnya dunia. JANJI… kini hanyalah debu yang beterbangan, menyakitkan setiap kali terhirup. Dulu, ia rela menukar seluruh galaksi demi senyum Wei Liang. Sekarang? Senyum itu hanya memicu ingatan tentang tawa yang dicuri, mimpi yang dirampas.
"Dulu, maafmu adalah permata yang kuhargai," jawab Lin Mei, suaranya setenang danau yang membeku. "Sekarang, hanya terdengar seperti gema di dalam kubur."
Wei Liang mengulurkan tangan, mencoba menyentuh pipinya. Lin Mei mundur, menghindar sentuhan itu seolah menghindar api. Sentuhan yang dulu memabukkan, kini terasa membakar kulit.
"Aku... aku menyesal, Mei. Setiap hari, setiap detik." Suaranya bergetar, nyaris putus asa.
Lin Mei tersenyum. Bukan senyum bahagia, bukan senyum ramah. Melainkan senyum pahit yang mencerminkan kedalaman luka yang ia pendam. Senyum yang membuat Wei Liang bergidik.
"Penyesalanmu takkan mengembalikan apapun, Wei Liang. Waktu tak bisa diputar. Cinta tak bisa dipaksa."
Lalu, ia berbalik. Meninggalkan Wei Liang di tengah remang senja, sendirian dengan penyesalannya yang abadi.
Lima tahun lalu, Wei Liang memilih. Sekarang, pilihan itu kembali menghantuinya. Informasi yang ia butuhkan untuk menyelamatkan kerajaannya – informasi yang akan menjatuhkan musuh-musuhnya – hanya ada dalam genggaman Lin Mei. Dan Lin Mei, yang kini menjelma menjadi pengusaha sukses dan berpengaruh, menawarkan bantuannya. Tanpa syarat. Tanpa tuntutan. Hanya… sebuah pertemuan penting yang akan menentukan nasib kerajaannya, di sebuah tempat terpencil, jauh dari hiruk pikuk kota.
Ketika helikopter yang membawa Wei Liang jatuh di tengah badai, tanpa ada yang selamat, hanya gema kata-kata terakhir Lin Mei yang berputar di udara: "Tentu saja aku akan membantumu, Wei Liang. Karena karma selalu menemukan jalannya."
Cinta yang memudar, dendamkah yang berkobar?
You Might Also Like: Bikin Penasaran Ia Menatap Namaku Di