Pedang yang Menghapus Luka Ratu
Embun pagi membasahi atap Istana Giok Putih, senada dengan air mata yang diam-diam membasahi pipi Ratu Lian, pewaris takhta yang kini terasa seperti kutukan. Di sisinya, berdiri Jenderal Bai, SAUDARA sedarah, sahabat sejati, dan satu-satunya lelaki yang dipercayainya di dunia yang penuh intrik ini.
"Bai, kenapa takdir begitu kejam?" lirih Lian, suaranya serak menahan tangis.
Bai, dengan mata setajam elang, menatap ke kejauhan. "Takdir hanyalah narasi yang kita ciptakan sendiri, Lian. Kekuatan ada di tanganmu." Senyumnya teduh, namun ada kilatan tersembunyi di balik mata itu.
Mereka tumbuh bersama, berlatih pedang di bawah pohon sakura yang sama, berjanji untuk saling melindungi sampai akhir hayat. Bai selalu menjadi pelindung Lian, menangkis semua bahaya yang mengintai. Tapi kini, Lian merasa ada sesuatu yang berubah. Aura Bai tak lagi sehangat dulu. Ada jurang tak kasat mata yang memisahkan mereka.
Intrik istana semakin menggila setelah kematian Raja. Ratu Lian dituduh berkomplot dengan musuh, difitnah melakukan pengkhianatan. Satu demi satu, sekutu Lian tumbang, dikhianati oleh orang-orang terdekat. Lian merasa terperangkap dalam labirin kebohongan.
"Siapa, Bai? Siapa yang mengkhianatiku?" tanya Lian, matanya menuntut jawaban.
Bai menunduk, ekspresinya sulit dibaca. "Lian, terkadang kebenaran terlalu pahit untuk ditelan. Percayalah padaku, aku akan melindungimu."
Malam itu, badai menerjang Istana Giok Putih. Di tengah kekacauan, Lian menemukan surat rahasia yang ditujukan kepada Kaisar Naga, musuh bebuyutan kerajaan. Surat itu ditandatangani... BAI.
Dunia Lian runtuh. SAHABATNYA sendiri, saudara sedarahnya sendiri, ternyata seorang PENGKHIANAT!
Dengan pedang di tangan, Lian mencari Bai. Mereka bertemu di bawah pohon sakura yang dulu menjadi saksi bisu janji setia mereka.
"Kenapa, Bai? Kenapa kau mengkhianatiku?" tanya Lian, air mata bercampur darah membasahi pipinya.
Bai menarik napas dalam. "Aku melakukan ini untukmu, Lian. Ayahmu, sang Raja, memerintahkan pembantaian keluargaku. Aku bersumpah akan membalas dendam, tapi aku tidak bisa membunuhmu. Kau terlalu berharga bagiku. Aku ingin menjatuhkan kerajaan ini dari dalam, agar kau bisa membangunnya kembali sesuai keinginanmu."
Kata-kata Bai bagai belati yang menusuk jantung Lian. Dendam? Cinta? Kebohongan? Kebenaran? Semua bercampur aduk menjadi satu.
"Kau MEMBOHONGIKU! Kau merenggut semua yang kumiliki!" teriak Lian, suaranya memecah kesunyian malam.
Pertempuran pun pecah. Dua pedang beradu, menari di bawah cahaya bulan. Lian, dengan amarah membara, menyerang tanpa ampun. Bai, dengan kesedihan mendalam, hanya bertahan.
Akhirnya, pedang Lian menembus jantung Bai. Pria itu tersenyum, senyum pahit yang akan menghantuinya selamanya.
"Balas dendam... adalah hidangan yang TERBAIK disajikan dingin," bisik Bai, sebelum tubuhnya ambruk ke tanah.
Lian menatap jasad Bai, hatinya hancur berkeping-keping. Ia telah membalaskan dendam, tapi luka di hatinya takkan pernah sembuh. Ia telah membunuh satu-satunya orang yang dicintainya, demi kerajaan yang dipenuhi kebohongan.
Lian berlutut di samping jasad Bai, mengangkat pedangnya tinggi-tinggi. "Pedang ini... akan menghapus semua luka. Termasuk lukaku sendiri."
Satu kalimat menggantung terucap sebelum kegelapan menelannya: "Mungkin… aku pantas mati bersamamu."
You Might Also Like: Bikin Penasaran Langit Yang Mengulang