Senyum yang Tak Pernah Jujur Sejak Hari Itu
Aula Keemasan Istana Phoenix berkilauan di bawah cahaya ribuan lilin. Setiap langkah Permaisuri Agung Lian bergema di atas lantai marmer yang dipoles sempurna. Sutra merah membungkus tubuhnya yang ramping, menyembunyikan hati yang membeku di balik senyum yang selalu ia tunjukkan.
Sejak hari itu, hari di mana Pangeran Kedua, Wei Chang, berlutut di hadapannya, memohon restu Kaisar untuk menikahinya, senyum Lian tak pernah jujur lagi. Wei Chang, pria yang dicintainya sejak masa kanak-kanak, pria yang berjanji hanya akan mencintainya, kini memandangnya dengan sorot mata yang penuh perhitungan. Pernikahan ini bukan tentang cinta; ini tentang KEKUASAAN.
"Permaisuri terlihat begitu anggun malam ini," bisik Menteri Zhang, seraya membungkuk hormat. Bisikannya bagai belati yang menusuk kulit. Lian tahu, di balik setiap pujian tersembunyi intrik, di balik setiap senyum terpatri pengkhianatan.
Wei Chang mendekat, senyumnya menawan namun kosong. "Lian, kau tahu, pernikahan ini adalah kunci untuk mengamankan tahta."
"Dan di mana letak hatiku dalam permainan ini, Pangeran?" tanya Lian, suaranya lembut bagai desiran angin.
"Hatimu aman bersamaku," jawab Wei Chang, namun matanya berbohong. Lian tahu, hatinya telah menjadi sandera, terperangkap dalam jaring kekuasaan yang ia tenun sendiri.
Hari-hari berlalu dalam parade kemegahan dan kebohongan. Lian memainkan perannya dengan sempurna – istri yang patuh, pendamping yang menawan, permaisuri yang dihormati. Namun, di balik tirai sutra, ia merencanakan. Ia mengumpulkan sekutu, mengorek rahasia, dan mempertajam pedangnya. Senyumnya menjadi senjata, topeng yang menyembunyikan amarah dan tekadnya yang membara.
Malam penobatan Wei Chang tiba. Aula Keemasan dipenuhi pejabat tinggi dan bangsawan. Wei Chang berdiri di altar, siap menerima Mahkota Naga. Lian tersenyum, senyum yang paling menipu yang pernah ia tampilkan.
Saat Wei Chang meraih mahkota, Lian bergerak. Anggur yang ia suguhkan mengandung racun yang mematikan, racun yang ia kembangkan sendiri selama bertahun-tahun. Wei Chang tersentak, matanya membelalak kaget, sebelum roboh ke lantai.
Aula Keemasan membeku. Keheningan mencekam. Kemudian, Lian berbicara, suaranya jernih dan dingin bagai es. "Kekuasaan, Pangeran, bukanlah sesuatu yang bisa kau klaim dengan kebohongan. Ia harus direbut dengan keberanian dan keadilan."
Ia menoleh pada kerumunan, senyum dinginnya menyebar. "Siapa bilang yang lemah tidak bisa membalas dendam?"
Lian melangkah melewati mayat Wei Chang, menuju tahta yang kini kosong. Ia duduk, tegak dan anggun. Senyum yang tak pernah jujur itu kini menghilang, digantikan ekspresi tekad mutlak.
Dan dengan satu gerakan anggun, Permaisuri Agung Lian mulai menulis ulang sejarah.
You Might Also Like: Neuromuscular Junction Anatomy